Jumat, 03 September 2021

Menjadi Asisten Dosen

 Kenangan Masa Kuliah di IPB (8):

MENJADI ASISTEN DOSEN

Oleh Tika Noorjaya (A13.405)

Suatu hari, selesai membaca pengumuman di papan pengumuman Sosek, saya memberanikan diri menjadi Asisten Dosen "Pengantar Ilmu Ekonomi Umum", di bawah koordinasi Bapak Drs. Zulkifli Azzaino, MSc. Alhamdulillah, disetujui.

Untuk kegiatan responsi, Kang Agus Pakpahan menjadi Penanggung Jawabnya. Beliau alumnus Fahutan, yang waktu itu menjadi Mahasiswa Pasca Sarjana IPB.

Berdasarkan nama marganya, waktu perkenalan saya menyebutnya "Bang Pakpahan". Namun apa yang terjadi? "Ulah abang atuh, akang aja yah", katanya dengan logat Sunda yang medok. (Belakangan saya baru tahu kalau Kang Agus Pakpahan adalah ORBA, Orang Batak kelahiran kampung Ciburial, Cimalaka, Desa Licin, Sumedang).

Responsi Ekonomi Umum waktu itu dilakukan di Ruang Kuliah P1-P6 yang bukan main panasnya. Kalau sedang di depan kelas, saya sering kali bercucuran keringat, apalagi kalau ada pertanyaan susah dari mahasiswa TPB.

Kini, ruang kuliah di kompleks tersebut sudah beralih fungsi menjadi Botany Square dan Santika Hotel. Entah sampai kapan.


 
_____
Selain Asisten Dosen "Ilmu Ekonomi Umum", saya juga menjadi Asisten Dosen "Pengantar Ilmu Kependudukan" untuk mahasiswa Tingkat II Faperta Sosek dan Faperikan. Surat pengangkatannya ditandatangani oleh Prof. Sajogyo dan Dr. Ir. Irlan Soejono.

Tempat responsinya di ruangan berkaca, di bagian depan Kampus Faperikan yang berdampingan dengan Kampus Sosek.

Pengajarnya/dosen selain Bapak S. M. P. Tjondronegoro, juga Pak Umar Tuanaya dan Pak Said Rusli. (Belakangan Pak Said Rusli menulis buku "Ilmu Kependudukan", yang diterbitkan oleh LP3ES, penerbit buku teks bergengsi waktu itu).

*     
_____
Selain itu, saya juga menjadi Asisten Dosen untuk mata kuliah Tataniaga Pertanian (untuk mahasiwa Tingkat IV Sosek), yang diampu oleh Bapak Zulkiffli Azzaino, tetapi tak ada dokumentasinya.

*  Sepertinya waktu itu saya diangkat menjadi Asisten Dosen oleh Pak Zulkifli secara pribadi, honor yang saya terima pun tampaknya berasal dari saku pribadinya.

Waktu itu hubungan mahasiswa dengan dosen cukup akrab, karena kami sering diajak melakukan penelitian ke daerah, membuat tabulasi, hingga membuat resume dari hasil tabulasi. Waktu itu Dosen Sosek subur proyek.

*     
_____
Sejujurnya, menjadi Asisten Dosen itu awalnya cuma gaya-gayaan, yang tak sebanding dengan persiapannya, apalagi harus bersaing dengan aktivitas perkuliahan sendiri, yang tak kalah sibuk.

* Sebelum bertugas besok hari, malam harinya saya belajar keras, mengantisipasi pertanyaan mahasiswa. Jangan sampai mendapat malu di ruang kuliah nanti.
_____
Sebagai Asisten Dosen saya memperoleh honor "Katagori 12b" dalam Daftar Lampiran Keputusan Menteri P dan K, 9 April 1969, nomor 026 Tahun 1969. Waktu sudah lulus, sambil menunggu pelantikan, saya naik pangkat menjadi Dosen Muda Tidak Tetap dengan honor kategori "9b" dari SK Menteri di atas.

Honor sebagai Asisten Dosen tersebut nilainya tak seberapa. Kalau tak salah Rp 9.000,- lalu naik jadi Rp 15.000,- (atau Rp21.000 ??) untuk satu semester.

Itu pun harus siap mentraktir teman-teman kalau ketahuan habis dapat honor; biasanya nonton film di Bogor Theater atau Ramayana Theater plus sedikit makan-makan. 

Kamis, 02 September 2021

BARANANGSIANG, Terang Benderang

BARANANGSIANG, Terang Benderang

"Baranangsiang" adalah buku kedua karya Kang Yan Lubis, alias Rusdian Lubis.




Seperti "Anak Kolong" (buku Kang Yan yang pertama), gaya bahasa buku ini bohemian, "seenaknya", tanpa kehilangan orisinalitas dan intelektualitas.

Lorong waktu yang mundur ke alam 1970-1980an berhasil digali dengan cukup terang, rinci dan teliti. Kenangan diunggah dalam format pada masanya, flash back, dan sekali-sekali ditarik ke masa kini.

Dalam format novel, Kang Yan mengenang masa lalu Baranangsiang dengan taburan sejuta fantasi. Terasa indah seperti ketika Pramudya Ananta Toer menggambarkan lika-liku geografis dan eksotis Malang-Kediri dalam lakon "Arok-Dedes".
_____
Sebagian besar kenangan tentu saja bercerita tentang Kampus IPB Baranangsiang melalui ingatan tentang Mahatani, Tempat indekos, POSMA, Ruang Kuliah, Laboratorium Praktikum, Praktik Lapang, Perpustakaan, Landasan Matematika, Gado-gado Bi Enur, KKN, RCD, Pers Kampus, Kewiraan dan Mahawarman, para dosen, dll.

Bagian lain ada juga yang berkisah tentang pengalaman di tempat lain, khususnya ketika Kang Iyan belajar dan bekerja di mancanagara, namun senantiasa dikaitkan dengan ingatan tentang Baranangsiang.

Bagian yang paling menarik bagi saya sebagai pituin Sunda, adalah proses Kang Iyan Menyunda, Menjadi Sunda.

Dari ungkapan yang menyebar dan menebar di sekitar 300an halaman buku ini, wabil khusus tentang "Salak dari Gunung Salak" (halaman 145-158) dan "Banondari" (2 episode, halaman 173-184 dan 185-202), segera tampak bahwa Kang Iyan telah memahami kesundaan lebih dari cukup, tak sekadar berbahasa tapi juga budaya. Karena itu, saya lebih suka menyebutnya Kang Iyan daripada Bang Lubis.
_____
Kang Iyan memang empat tahun lebih dulu masuk IPB dibanding saya, tetapi suasana batin pada waktu itu relatif tak banyak berubah, jadi biografi ini dapat dinikmati dengan mudah, bahkan ada irisan tiga tahun kebersamaan (1976-1978).

Lebih dari itu, letak geografis Departemen Agronomi, jurusannya, berdekatan dengan Departemen Sosek, jurusan saya.
_____
Setelah membaca keseluruhan naskah, saya merasa terhibur, terharu, dan bersyukur, bahwa ada kakak tua yang menuliskan kenangan tentang Baranangsiang dan ke-IPB-an dengan cara yang cerdas dan jenaka, kadang-kadang nakal juga. Jadi ingat Si Kabayan, yang lugu dan cerdas, mengisi hidup dengan sepenuh "heuheuy jeung deudeuh".

Tak ada gading yang tak retak, ... foto-foto bersejarah dalam buku ini kiranya akan lebih afdol kalau tampil dalam warna aslinya. Entah kenapa, foto hitam-putih di buku ini sebagian besar terlalu gelap untuk mengesankan "kenangan".
____
Nama saya disebut-sebut dalam buku ini, bukan karena menjadi pelakon, melainkan karena mendapat kepercayaannya untuk menerjemahkan beberapa lagu Sunda ke dalam Bahasa Indonesia ("Banondari Saga-1" dst).

Oh ya, tak lupa Kang Yan juga menampilkan foto sampul buku-buku DR. Ir. Hidayat Nataatmadja (alm) koleksi pribadi perpustakaan saya. Rupanya kami sesama fans berat Pa Hidayat yang cerdas, yang ilmunya lintas-batas seperti Einstein ("Migrain Lantaran Einstein", halaman 251-268).
____
Buku Kang Yan ini menjadi pelengkap bagi kami mahasiswa IPB Angkatan 13 (ASTAGA, Ayo Santai Tapi Awas Gagal) yang telah mengumpulkan lebih dari 200 kenangan dalam dua jilid buku, yakni Merajut Kenangan, Mensyukuri Nikmat Kebersamaan (Jilid I: 2017) dan Merekatkan Kebersamaan, Melestarikan Persahabatan (Jilid II: 2018).
_____
Yan Lubis, BARANANGSIANG, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019, (xiii + 314) halaman. ISBN 978-602-433-745-2.
Ary
Like
Comment

Comments

Sabtu, 28 Agustus 2021

Grup Calung ASTAGA-IPB

Kenangan Masa Kuliah di IPB (7):

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)

 

Pembentukan Grup Calung ASTAGA tak lepas dari upaya Panitia OSMA yang dimulai sejak 16 Februari 1976.

Waktu itu, di hari kedua, di halaman depan PKM, kami "dijemur" dengan kepala yang sudah plontos, begitu pula topi kuncung yang terbuat dari koran harus ditanggalkan. Rambut rekan-rekan mahasiswi dikucir kepang dua dengan menggunakan karet gelang ...



Setelah Pengantar ala kadarnya, beberapa orang kakak Panitia membagikan formulir semacam Biodata. Rupanya mereka sedang melakukan penyaringan potensi bakat para Mahasiswa baru antara lain dengan menanyakan kegiatan ekstrakurikuler selama di SMA.

Di hari berikutnya, saya dipanggil ke salah satu ruangan DM-IPB bersama Agus D. Gozali, Radhar Eko Laksono (Eko) dan Mursyid (alm). Itulah awal pembicaraan tentang niat untuk membentuk Grup Calung Astaga-IPB.

_____
Bersaing dengan jadwal kuliah dan praktikum yang amat sangat padat, kami mulai menyisihkan waktu untuk berlatih. Saya menjadi dalang, Agus D. Gozali (calung kedua: panepas), Eko Radhar Laksono (calung ketiga: jongjrong), dan Mursyid (calung keempat: gonggong).


 
Salahsatu tampilan yang berkesan adalah mengisi acara Parade Seni Fatemeta-IPB pada 8 Mei 1976 di Gedung Merdeka Bogor sebelum penampilan Konser Rakyat Leo Kristi. (Gedung Merdeka waktu itu merupakan tempat terbesar dan bergengsi untuk pagelaran seni. Sekarang disulap menjadi Pusat Grosir Bogor Merdeka).

Waktu itu, selepas manggung, ada wartawan yang menanyai saya tentang nama Astaga, apakah ada hubungannya dengan "Majalah Astaga", majalah humor yang dipimpin oleh Arwah Setiawan (Alm). Saya bilang, tidak ada hubungan sama sekali dengan majalah itu. Grup calung ini semata-mata merupakan bagian dari kegiatan mahasiswa IPB yang ingin melestarikan kesenian tradisional, khususnya kesenian Sunda.

(Waktu itu memang ada juga berbagai grup kesenian lain, seperti tari, drama, vocal group, dll. Juga ada berbagai tim olah raga, seperti sepak bola, catur, softball, dll). 

_____
Setelah penampilan tersebut, karena didera kesibukan jadwal akademis, maka Grup Calung Astaga-IPB cuma tampil beberapa kali lagi, dengan formasi yang berganti-ganti. Hanya saya dan Kang Agus Gozali yang tetap bertahan, mungkin karena kami sudah membentuk Tim Calung sejak di SMAN 2 Bogor.

Untuk mengganti Kang Mursyid dan Kang Eko yang tak melanjutkan kiprahnya, sempat hadir Kang Hayani Suprahman (yang lebih dikenal dengan nama Kang Cecep) dan orang Brebes (yang lupa lagi namanya). Salah satu tampilan yang masih ingat bersama mereka adalah pada acara yang diselenggarakan Faperta di Kampus Baranangsiang, tapi saya lupa lagi dalam kegiatan apa.

_____
Berbeda dengan calung yang belakangan menjadi semacam pengiring biduan layaknya arumba, calung kami lebih mengutamakan gerak (koreografi) yang energik dan lagu-lagu “Kaulinan Urang Lembur” yang lyriknya penuh canda.

Untuk tampil sekitar 30 menit, kami harus menghapal sekitar 20 lagu plus menata gerak (semacam tari) agar serasi. Butuh tenaga ekstra dan ingatan yang kuat, -- yang agaknya amat repot kalau harus diulang di usia senja sekarang. 

_____
Bagi teman-teman yang kurang mengenal kesenian Sunda, mungkin perlu dijelaskan bahwa Calung adalah salahsatu seni tradisional Sunda, yang terbuat dari bambu. Dimainkan dengan cara dipukul, minimal oleh empat orang pemain, dengan nada yang berbeda. Pemain yang bertindak sebagai dalang menggunakan calung dari bambu yang kecil sehingga suaranya nyaring, berirama, dan dapat memainkan lagu-lagu dengan lengkap.

Adapun calung yang lain bernada lebih besar (calung panepas, calung jongjrong, dan calung gonggong) sebagai pengiring.

Kadang-kadang ada tetabuhan lain untuk menyemarakkan suasana semacam kecrek, marwas, atau apa saja. Biasanya pembawa alat tersebut dieksploitasi kemampuan dagelan atau humornya.

Untuk menghidupkan suasana, enerjik, kesenian ini diiringi dengan kendang dan gong.

Pada awalnya irama calung mengikuti notasi Sunda yang pentatonis (Da Mi Na Ti La Da), dengan laras Pelog dan Salendro. Belakangan ada juga calung diatonis (Do Re Mi Fa Sol La Si Do), sehingga dapat memainkan lagu-lagu pop dan dangdut, seperti layaknya arumba.

_____
Calung paling banyak mewarnai kehidupan saya. Bapak Adung Priatna Noer (alm), guru dan wali kelas saya, adalah orang pertama yang mengajarkan calung pada tahun 1967, saat saya menjadi murid kelas 4 di SDN-I Pangalengan. Dengan keterampilan ini, maka bermain calung berlanjut ketika di SMP Negeri Pangalengan, kemudian di SMA Negeri 2 Bogor.

Patut dicatat, bahwa pada tahun 1972 grup calung saya menjadi Juara I tingkat Kabupaten Bandung, lalu tingkat Provinsi Jawa Barat.

_____
ASTAGA, Ayo Santai Tapi Awas Gagal.

Kamis, 26 Agustus 2021

AULA GUNUNGGEDE DAN GEDUNG ANTIK

Kenangan Masa Kuliah di IPB (6):

Oleh Tika Noorjaya (A13.405)

Aula Gununggede waktu itu termasuk gedung besar yang dapat menampung mahasiswa lebih banyak, baik untuk perkuliahan, quiz/ujian, atau kegiatan ekstra kurikuler dan hiburan.



Bagi saya, sebagai mahasiswa Faperta, kesempatan terbanyak di ruangan ini adalah waktu kuliah Agama Islam selama satu semester. Pernah juga 1-2 kali kuliah Kewiraan dan Pengantar Ilmu Pertanian (PIP), yang entah kenapa waktu itu dialihkan ke sana, karena biasanya di Kampus Baranangsiang.

Kegiatan yang agak sering di Aula ini adalah quiz/ujian. Karena jaraknya lebih jauh dari rumah saya (dibanding ke Baranangsiang), maka saya harus berangkat lebih awal.

Ada suatu kenangan buruk ketika Ujian Bahasa Indonesia. Saya telat ujian hampir setengah jam karena jaket Korea saya ditahan oleh Polisi Miiliter di Jembatan Merah. Katanya, saya sebagai orang sipil dilarang memakai pakaian militer. Padahal, waktu itu banyak orang yang suka dengan kegagahan jaket Korea itu, meskipun harus didapatkan dengan susah payah.

Walaupun demikian, alhamdulillah saya bisa menyelesaikan ujian dengan lengkap pada waktunya, dan nilai akhirnya pun lumayan.


_____
Tahun 1977, untuk pertama kalinya saya menyaksikan Bimbo Group berqasidah di Aula Gunung Gede.

Menurut Kang Asep Saefuddin dan Kang Widiyanto, waktu itu HMI IPB sedang menyiapkan pembentukan BKI (Badan Kerohanian Islam) dan mengundang Bimbo dalam rangka Isra'Miraj 1397 H.

Saya heran, Kang Sam Bimbo, kakak tertua dari tujuh bersaudara itu, yang sekaligus menjadi pimpinan Bimbo Group dan penulis lagu Bimbo yang produktif, ternyata sering lupa lyrik lagu. Teh Yani, adiknya, ketawa-ketiwi melihat kakaknya menyanyi salah lyrik, hi hi hi. (Waktu itu, Iin Parlina tak ikutan, katanya sedang sakit).


_____
Ketika Tingkat II, saya bersama Kang Agus D. Gozali menjadi Mentor Unit Kegiatan Paduan Suara, yang bertempat di Aula Gunung Gede.

Tak lain, karena pelatihnya adalah Ibu Nani Gozali, perwakilan Sanggar Seni Suara Pranajaya, yang waktu itu sangat populer. (Beliau saya kenal sejak lama, sebagai guru yang aktif mengembangkan kesenian di SMP4 Bogor dan SMAN2 Bogor).


____
Satu atau dua tahun kemudian, saya mengikuti pelatihan yang juga bertempat di Aula Gunung Gede, hanya saya lupa, apakah itu Pelatihan Sekretaris atau Pelatihan Jurnalistik.

Kesan paling mendalam adalah materi dari DR. F. G. Winarno (sekarang sudah profesor sepuh). Di luar dugaan, sarjana kedokteran hewan ini ternyata membawakan materi tentang pembuatan Bar-chart, Net Work Planing (NWP), Critical Path Method (CPM), dan lain-lain, yang waktu itu sedang “in”.

Beliau membuka presentasinya dengan kutipan tentang kemampuan yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, yang katanya hanya perlu "Tiga Sen".

Wow. Ternyata, yang dimaksud adalah Three Senses, yaitu Competense, Integrity, dan ... Humour.
______
Di sebelah kiri Aula Gunung Gede ada gedung antik yang kini menjadi Sekolah Vokasi IPB. Gedung tersebut tak lain adalah "Lembaga 2: Ilmu fa'al dan chasiat obat. Kimia fa'ali dan Ilmu hewan".

Saya tertarik dengan Ejaan Van Ophuysen yang dipertahankan sebagai heritage. Semoga demikian untuk seterusnya.

(Masih teringat, tulisan itu sudah ada sejak saya menginjakkan kaki pertama kali di Bogor awal Semester 2-1973, ketika saya pindah dari SMAN4 Bandung ke SMAN2 Bogor).
_____
Untuk mengunggah kenangan, dua tahun lalu saya mengajak Tim Editor Buku Kenangan Astagian-IPB13 untuk bernostalgia di sana. 

Rabu, 25 Agustus 2021

QUIZ: QUO VADIZ ?

 Kenangan Masa Kuliah di IPB (5)

Oleh: Tika Noorjaya (A13.405)


Quiz adalah peristiwa yang menyebalkan bagi mahasiswa TPB-IPB waktu itu. Setelah pontang-panting Senin hingga Jumat untuk kuliah, praktikum dan responsi, ... malam Sabtu hidup seakan dicekam setan bernama Quiz yang bikin meringis.

Belajar digegaskan dengan Sistem Kebut Semalaman (SKS). Tak lupa bikin kepekan di kertas dengan huruf-huruf mini untuk dibaca ulang sebelum masuk ruangan. (Konon, he he he, ada rekan mahasiswi yang membuat kepekan di paha kiri-kanan agar terbebas dari pengawas !!! Wallahu'alam bissawab).

Oh ya, setelah begadang semalaman, makan pagi biasanya agak istimewa, dilengkapi dengan telur rebus, tak lupa minum Cerebrovit agar otak encer. He he he. Percaya ajah ...

Selain itu, untuk menghormati perjuangan belajar semalaman, khusus untuk menghadapi Quiz saya memaksakan diri untuk naik bemo dua kali: Dari rumah di Jl. Juanda menuju stanplat bemo di bawah Pasar Bogor, dilanjut route Pasar Bogor - Jl Rumah Sakit II, atau Kampus Gunung Gede (sesuai jadwal).

Naik bemo di pagi hari biasanya berhimpitan dengan penumpang lain. Dengkul ketemu dengkul. Kesempatan ini segera digunakan untuk buka kepekan yang disiapkan semalam. (Kepekan tersebut saya kumpulkan untuk bekal Ujian Akhir).

Di bemo, ada kalanya saya bertemu rekan senasib dalam memikul beban derita menghadapi Si Quiz.

Sampai di ruangan, kita celingukan mencari tempat strategis, ... yaitu tempat yang tak mudah dilihat, sedikit tersembunyi dari pengawas, baik dosen maupun asisten yang seringkali pasang muka keras supaya tampak berwibawa.

Dan, ... Quiz pun dimulai. Keheningan melanda seluruh ruangan, sementara pikiran menimbang-nimbang jawaban yang paling betul untuk pertanyaan pilihan (multiple choice); menggunakan kalkulator Casio (di-kasih orang) untuk hitungan, dan mereka-reka kata untuk jawaban esai, yang seringkali lebih memusingkan karena ada dosen yang bahkan mengharapkan jawaban persis seperti aslinya di buku pegangan. Huh.

Jelang Quiz usai, pengawas menuliskan waktu mundur (counting down) di papan tulis dengan bilangan angka sisa waktu yang semakin mengecil menit per menit. Sungguh hitungan waktu yang sangat menyiksa, ketika kertas jawaban harus segera dikumpulkan ke depan, atau diambil paksa oleh pengawas.

Dan, gemuruh sukacita pun membahana tatkala pengawas quiz memberi kelonggaran tambahan waktu barang 10-15 menit. Horeeee !!!

Selesai Quiz, kita bergerombol di luar ruangan, membahas jawaban masing-masing, yang seringkali menjadi sumber kekecewaan baru begitu tahu jawaban kita melenceng dari jawaban yang seharusnya.

Dan, akhirnya, ... 1-2 minggu kemudian nilai hasil Quiz terpampang di papan pengumuman. Perasaan tak karuan.

Spontan berteriak girang ketika angka yang terpampang tinggi menjulang. Sebaliknya, hanya kita yang bisa merasakan betapa keras detak jantung di dada, ketika nilai yang kita dapat jauh dari harapan.

Quiz oh Quiz, Quo vadiz ?

____
ILUSTRASI:
Aula Kantor Pusat (AKP) IPB, ruangan terbesar yang biasa digunakan untuk Quiz waktu itu. Pengawasnya pun lebih banyak dibanding RK Kimia, Botani, dan Fisika.